Sabtu, 18 Februari 2012

maturidiyah bukhara dan samarkand

MATURIDIYAH: SAMARKAND DAN BUKHARA
PENDAHULUAN
Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan ini dapat dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang ditimbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis, yang sampai pada akhirnya menimbulkan berbagai aliran perbedaan pandangan. Diantaranya ada Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Qodariyah, Jabariyah, Murji’ah, Ash’ariyah juga Maturidiyah.
Aliran maturidiyah ini dinisbatkan kepada Imam Al – Maturidy. Sistem berfikir Al Maturidy tidak berbeda banyak dengan Al Asy’ari. Keduanya sama – sama gencar menentang Mu’tazilah dan membela kepercayaan – kepercayaan yang ada dalam Al-Qur’an. Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al Maturidy banyak pula memakai akal dalam sistem teologinya. Oleh karena itu antara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun demikian keduanya muncul sebagai reaksi dari kaum Mu’tazilah
Salah satu pengikut penting dari aliran al Maturidy ialah Abu al – Yusr Muhammad al – Bazdawi (421 -493 H ). Nenek al – Bazdawi adalah murid dari al – Maturidy, dan al – Bazdawi mengetahui ajaran – ajaran al – Maturidy dari orang tuanya. Al – Bazdawi sendiri mempunyai murid – murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al – Din  Muhammad al Nasafi (4
60-537 H). Seperti al – Baqilani dan al – Juwaini, al Bazdawi tidak pula sefaham dengan al – Maturidy. Antara kedua pemuka aliran Maturidiah ini, terdapat perbedaan faham sehingga pada akhirnya aliran ini terbagi menjadi dua golongan: golongan Samarkand an golongan Bukhara.

A. Maturudiyah Samarkand (al Maturidi) Dipimpin oleh Imam Maturidi
1. Riwayat hidup al Maturidi
Nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi adalah
teolog terkemuka yang tergolong  ke dalam barisan kaum Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Paham teologis yang dikemukakannya dan dianut oleh para pengikutnya kemudian dikenal dengan Maturidiah.
Beliau lahir di Maturid dekat dengan Samarkand (di Asia Tengah pada tahun 852 M / 238 H) yang tanggal kelahirannya tidak dapat diketahui secara pasti dan hanya merupakan suatu perkiraan, yaitu berdasarkan bahwa, ketika gurunya (Muhammad bin Muqatil al Razi)
wafat pada tahun 862 M atau 248 H, beliau sudah berusia sepuluh tahun. Jika perkiraan ini benar, maka berarti ia mempunyai usia yang sangat panjang karena di ketahui beliau wafat di Samarkand pada 944 M / 333 H. Adapun nama al Maturidi dihubungkan dengan tempat kelahirannya yaitu Maturid.
Al-Maturidi memperdalam ilmu dari beberapa orang guru dai daerahnya. Guru-guru
Al-Maturidi adalah murid Abu Hanifah. Dari guru-gurunya itulah membuat al Maturidi dikenal dalam bidang fiqih, ilmu Kalam, tafsir sekalipun akhirnya ia lebih populer sebagai mutakallimin.[1] Oleh karena ia lebih banyak memfokuskan perhatiannya kepada ilmu kalam, karena ketika itu ia banyak berhadapan dengan paham teologi lain seperti Mu’tazilah.
Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistem teolaoginya. Oleh karena itu antara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh Al-Asy’ary ada perbedaan.[2]  Aliran teologi Maturidiyah terletak diantara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah.[3]

2. Pemikiran-Pemikirannya
Akal dan Wahyu
Al Maturidi berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Oleh karena Allah sendiri memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi alam ini. Ini menunjukkan bahwa dengan akal, manusia dapat mencapai ma’rifat kepada Allah.
Mengenai kewajiban manusia akan kemampuan mengetahui Tuhan dengan akalnya menurut al Maturidi Samarkand sebelum datangnya wahyu itu juga adalah wajib diketahui oleh akal, maka setiap orang yang sudah mencapai dewasa (baligh dan berakal) berkewajiban mengetahui Tuhan. Sehingga akan berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu.
Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Adapun mengenai kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, menurut paham Maturidiah Samarkand akal tidak berdaya mewajibkan manusia terhadap hal tersebut. Karena kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui oleh wahyu.[4]
Pelaku Dosa Besar
Aliran ini menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya ke neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Maturidi sendiri sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun mati sebelum bertaubat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah bagi orang yang berdosa syirik.  Karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tasdiq dan ikrar, sedangkan amal adalah penyempurna iman.[5]
Iman dan Kufur
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan konsep Al-Karamiyah, salah satu sub sekte Murji’ah.
Keimanan itu tidak cukup hanya dengan hanya dengan perkataan semata tanpa diimani pula oleh qalbu. Apa yang diucapkan lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal jika hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya tashdiq seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini, didapatkan melalui penalaran akal. Bukan sekedar berdasarkan wahyu.
Jadi menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman.
Al-Maturidi tidak mengakui adanya fluktuasi iman. Meskipun demikian, berbeda dengan Abu Hanifah, Al-Maturidi menerima adanya perbedaan individual dalam iman. Hal ini dibuktikan dengan sikap penerimaannya terhadap hadis Nabi SAW. Yang menyatakan bahwa skala iman Abu Bakar lebih berat dan lebih besar dari pada skala iman seluruh manusia.[6]
Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Aliran ini berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian , Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Aliran Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.[7]
Mengenai memberikan beban kepada manusia di luar batas kemampuannya, (taklif ma la yutaq), Aliran ini mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah. Menurut Syarh al-Fiqh al-Akbar, Al-Maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran Asy’ariyah dalam hal ini karena al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul.
Adapun mengenai pengiriman rasul, seperti telah disinggung di atas, aliran ini sepaham dengan Mu’tazilah bahwa pengiriman rasul  sebagai kewajiban Tuhan. Hal ini dapat kita diketahui dari keterangan Al-Bayadi dalam Isyarat Al-Maram yang menjelaskan bahwa keumuman Maturidiyah sepaham dengan mu’tazilah mengenai kewajiban pengiriman rasul.[8]
Mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya aliran ini mempunyai pendapat yang juga sama dengan aliran Mu’tazilah bahwa upah dan hukuman Tuhan pasti terjadi kelak.[9]
Mengenai perbuatan manusia, Maturidiyah Samarkand memandang bahwa kehendak dan daya berbuat, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. [10]
Sifat-Sifat Tuhan
Berkaitan dengan sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Al-Maturidi dan Al-Asy’ari, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain al-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Tuhan tidak harus membawa kepada pengertian anthropomosphisme. Karena sifat tidak berwujud yang tersendiri dari dzat, sehingga terbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim (taaddud al qudama). Al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan , tetapi tidak lain dari Tuhan.[11]
Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani, Maturidiyah Samarkand sependapat dengan Mu’tazilah . Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.[12]
Dalam hal Tuhan dapat dilihat, Maturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy’ariyah . Al-Maturidi menjelaskan bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan bagaimana cara melihatnya.[13]
Tentang Al-Qur’an, Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa al-Qur’an itu adalah kekal tidak diciptakan. Aliran ini mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang bersifat kekal dari Tuhan, sifat yang berhubungan dengan dzat Tuhan dan juga qadim. Kalamullah tidak tersusun dari huruf, dan kalimat, sebab huruf dan kalimat itu diciptakan.[14]
Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan
Dalam memahami kehendak dan keadilan Tuhan, kaum Maturidiyah Samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat kepada Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang diberikan aliran Mu’tazilah. Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.[15]
B. Maturudiyah Bukhara (al Bazdawi) Dipimpin oleh Imam al Bazdawi
1. Riwayat Hidupnya
Nama lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain bin Abd. Karim al Bazdawi, dilahirkan pad tahun 421 H. Kakek al Bazdawi yaitu Abd. Karim, hidupnya semasa dengan al Maturidi dan salah satu murid al Maturidi, maka wajarlah jika cucunya juga menjadi pengikut aliran Maturidiyah. Sebagai tangga pertama, al Bazdawi memahami ajaran-ajaran al Maturidi lewat ayahnya.
Al Bazdawi mulai memahami ajaran-ajaran al Maturidiyah lewat lingkungan keluarganya kemudian dikembangkan pada kegiatannya mencari ilmu pada ulama-ulama secara tidak terikat. Ada beberapa nama ulama sebagai guru al Bazdawi antara lain : Ya’kub bin Yusuf bin Muhammad al Naisaburi dan Syekh al Imam Abu Khatib. Di samping itu, ia juga menelaah buku-buku filosof seperti al Kindi dan buku-buku Mu’tazilah seperti Abd. Jabbar al Razi, al Jubba’i, al Ka’bi, dan al Nadham. Selain itu ia juga mendalami pemikiran al Asy’ari dalam kitab al Mu’jiz. Adapun dari karangan-karangan al Maturidi yang dipelajari ialah kitab al-tauhid dan kitab Ta’wilah al-Qur’an. Al Bazdawi berada di Bukhara pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai qadhi Samarkand pada tahun 481 H / 1088 M, lalu kembali di Bukhara dan meninggal di kota tersebut tahun 493 H / 1099 M.[16]
2. Pemikiran-Pemikiran Al-Bazdawi
Akal dan Wahyu
Al Bazdawi berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang kewajiban mengetahui Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Kewajiban mengetahui Tuhan haruslah melalui wahyu.
Begitu pula akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban mengerjakan yang baik dan buruk. Akal dalam hal ini hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja. Sedangkan menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk adalah wahyu.
Dalam paham golongan Bukhara dikatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi suatu kewajiban. Di sini dapat dipahami bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.
Di sinilah wahyu mempunyai fungsi yang sangat penting bagi akal untuk memastikan kewajiban melaksanakan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk.[17]
Pelaku Dosa Besar
Aliran ini sependapat dengan aliran Maturidiyah Samarkand yang menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya ke neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.[18]
Iman dan Kufur
Pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tasdiq bi al qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud dengan tashdiq bi al –lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi bayangan dari iman. Jika banyangan itu hilang esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran bayang-bayang (ibadah itu), iman justru menjadi bertambah.[19]
Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Mengenai perbuatan Tuhan, Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah wajib dan hanya bersifat mungkin saja.[20]
Mengenai memberikan beban kepada manusia di luar batas kemampuannya (takyif ma la yutaq),aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya. Tuhan, kata Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. [21]
Mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya, Al-Bazdawi menerangkan bahwa Tuhan wajib menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Akan tetapi bisa saja Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang berbuat dosa ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan.[22]
Mengenai perbuatan manusia, Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.[23]
Sifat-Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, Maturidiyah Bukhara yang juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidak kekal.
Sebagaimana aliran lain, Maturidiyah Bukhara juga berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi takwil.
Mengenai melihat Tuhan, Maturidiyah Bukhara sependapat dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah Samarkand bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala menurut apa yang Tuhan kehendaki.
Adapun mengenai Al-Qur’an, aliran Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa al-Qur’an itu adalah kekal tidak diciptakan.[24]
Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan
Dalam mamahami kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan, aliran ini berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kehendak mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.
Lebih lanjut lagi, Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah difahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak. [25]















DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010), hal. 77
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid II, (Jakarta: UI-Press, 2009), hal. 37
Abdul Razak, Prof. Dr.  M.Ag, Anwar, Rosihon, Prof Dr. M.Ag., Ilmu kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), cet. VI, hal. 139
http://referensiagama.blogspot.com

http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/maturidiah-dan-ajarannya.html






[1] Dikutip dari: http://referensiagama.blogspot.com

[2] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010), hal. 77
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid II, (Jakarta: UI-Press, 2009), hal. 37
[4] Dikutip dari http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/maturidiah-dan-ajarannya.html
[5] Prof. Dr. Abdul Razak, M.Ag, Prof Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Ilmu kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), cet. VI, hal. 139
[6] Prof. Dr. Abdul Razak, M.Ag, Prof Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Op.Cit., hal. 150
[7] Ibid., hal. 158
[8]Ibid., hal. 158
[9]Ibid., hal. 159
[10] Ibid., hal. 166
[11] Ibid., hal. 178
[12] Ibid., hal. 178
[13] Ibid., hal. 178
[14] Ibid., hal. 179
[15] Ibid., hal. 187
[16] Dikutip dari: http://referensiagama.blogspot.com
[17] Dikutip dari http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/maturidiah-dan-ajarannya.html
[18] Prof. Dr. Abdul Razak, M.Ag, Prof Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Op.Cit., hal. 138
[19] Ibid., hal. 151
[20] Ibid., hal. 158
[21] Ibid., hal. 158
[22] Ibid., hal. 159
[23] Ibid., hal 166
[24]Ibid., hal. 179
[25] Ibid., hal. 187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"musthofa"