Sabtu, 18 Februari 2012

Posisi Al-qur'an

A.    AL-QUR’AN
1.      Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, kata Al-Qur’an mengandung arti bacaan yang dibaca. Lafadz Al-Qur’an berbentuk Isim Masdar dengan Isim Maful Lafadz Al-Qur’an dengan arti bacaan, misalnya dapat dilihat pada Firman Alloh pada Surat Al-Qiyamah : 17, 18 [1][2]
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (75- القيامة :17)

Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dalamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
 فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (75 - القسامة : 18)

Artinya : “Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”.[2][3]

Menurut pendapat yang peling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subhi Sholih, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan turunan (masdar) dari kata Qara’a (fiil madli) dengan arti isim al Maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya dibaca-baca.[3][4]
Bertolak dari analisa pandangan beberapa tokoh atau Ulama’ dalam mengartikan Al-Qur’an secara Terminologi, kiranya dapat ditegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalamulloh yang mu’jiz, yang turunnya kepada Nabi Besar  Muhammad Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam, dengan  melalui Malaikat Jibril, dengan lafadz Arab, yang ditulis dalam Mushaf yang membacanya sebagai suatu ibadah, dan diriwayatkan secara Mutawatir.[4][5]
Adapun yang dipindahkan tidak secara mutawatir, tidak dinamakan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an se3sempurna-sempurna seruan dan keadaannya perkataan Allog Shubhanahu Wa Ta’ala, yang mengandung hukum-hukum syara’ dan menjadi Mu’jizat bagi Nabi, maka mustahil kalau Al-Qur’an itu dipindahkan tidak secara Mutawatir.
2.      Sejarah Al-Qur’an
Daya tarik Al-Qur’an ternyata mampu bertahan
3.      Isi atau Kandungan Al-Qur’an
Seluruh umat Islam sepakat bahwa Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Sholallohu ‘Alahi Wa Sallam, adalah agama yang sempurna, dan bahkan paling sempurna . atas dasar ini kemudian ada sebagian pemikir Islam yang berpandangan bahwa Al-Qur’an telah menjelaskan segala-galanya, tidak ada sesuatupun yang aifa darinya. Relevannya dengan pandangan seperti ini Rosyid Ridlo pernah mengatakan bahwa Al-Qur’an mengandung semua Ilmu Pengetahuan yang ada di Alam Kosmis ini. Dengan kata lain, Al-Qur’an merupakan kitab Suci yang didalamnya sudah si jelaskan sistem perekonomian, Politik, Sosial, Budaya, Ilmu Pengetahuan dan seterusny, sehingga tidak ada suatupun yang terlupakan olehnya. Hal ini di dasarkan pada Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 3 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5  -المائدة : 3)

Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Alloh, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelihnyadan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[5][6]
Ayat-ayat di atas dan yang senada dengannya memang dapat diartikan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna isinya dalam arti tidak ada sesuatupun yang dilupakan dan segala-segalanya telah dijelaskan dalam isinya.
Berikut ini adalah perkiraan komposisi ayat Al-Qur’an dan isinya. Al-Qur’an-Al-Qur’an yang memuat ketentuan tentang Iman, Ibadah, dan hidup kemasyarakatan kurang lebih hanya ada 500 buah ayat atau 8 prosen dari keseluruhan Ayat Al-Qur’an. Dari sejumlah itu, ayat-ayat mengenai ibadah ada 140, dan tentang hidup kemasyarakatan ada 228 ayat, dan kemudian sisanya berisi tentang keimanan.
4.      Otentisitas Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab yang terpelihara nilai Otentisitasnya. Di dalam Surat Al-Hij ayat 9 Alloh mengatakan sendiri Jaminan atas keaslian Al-Qur’an :
Ayat tersebut memuat Janji Alloh untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an. Penggalan ayat “Wa Inna Lahu Lafaidhun” mengandung dua pengertian penting terkait dengan pemeliharaan Al-Qur’an. Pertama, secara bahasa susunan kalimat semacam ini memiliki kaedah makna “istimror” yakni terus menerus; kedua, dipergunakan kata “innd” sebagai kata ganti bagi Alloh dalam penggalan ayat itu menunjukkan perlunya keteribatan manusia (selain Alloh) dalam pemeliharaan Al-Qur’an itu. Atas dasar kedua hal ini dapatlah dipahami bahwa Alloh senantiasa menjaga otentitas al-Qur’an sampai akhir zaman. Hanya saja dalm aktivitas pemeliharaannya itu, Alloh menuntun kepada manusia agar ikut berperan aktif di dalamnya. Dengan adanya jaminan setegas ini maka setiap muslim percaya betul dan wajib percaya, bahwa apa yang dibaca dan didengarkan sebagai Al-Qur’an seperti ini tidak berbeda sedikitpun dengan Al-Qur’an yang pernah dibaca oleh Rosululloh dan didengar serta dibacanya oleh para Sahabat Nabi. Inilah makna sebenarnya dari otentitas Al-Qu’an.
5.      Posisi Al-Qur’an Dalam Studi Keislaman
Dikalangan umat Islam, bahwa Al-Qur’an adalah landasan pokok bagi Syari’ah Islam. Darinya diambil segala pokok-pokok Syari’ah dan cabang-cabangnya, dari padanya di ambil dalil-dalil syar’i. Dengan demikian Al-Qur’an adalah landasan pokok (kully) bagi Syari’ah islam dan pengumpul segala hukumnya sebagaimana firman Alloh dalam Surat Al-An’am ayat 38 :
 Imam Ibnu Hazm berkata : “segala pintu fiqh, tak ada suatu pintu dari padanya melainkan mempunyai pokok dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menyatakannya. Karena Al-Qur’an adalah mengandung dasar-dasar pokok (kully) dalam penerapannya bersifat ijma’i yang memerlukan perincian (tafshil) dan bersifat kully yang memerlukan penjelasan (tabyin). Dengan demikian, untuk bisa mengambil hukum dari padanya kita memerlukan pertolongan As-Sunnah.
Selanjutnya karena Al-Qur’an merupakan sumber utama , makan para Ulama harus terus mernerus berusaha untuk mempelajarinya dan menggalinya dengan melakukan ijtihad untuk mengeluarkan hukum-hukum dari ‘ibarat-‘ibarat, isyarat-isyarat, dzahir, dan nash Al-Qur’an. Sebagaimana mereka bersungguh-sungguh mencari jalan menakwilkan ayat-ayat mutasyabih, mentafsilkan ayat-ayat yang mujmal, menerangakan yang belum jelas, serta menerangkan mana yang dikatakan ‘am, nasikh, mansukh dan sebagainnya.
Karena Al-Qur’an diturunkan dengan memakai bahasa arab, maka walaupun dalam susunan bahasa yang tidak dapat di tansingi oleh bahasa Arab, namun kita memerlukan adanya pemahaman terhadap segala uslub Arab di dalam mengistimbatkan hukum dari Al-Qur’an. Adapun penjelasan Al-Qur’an yang pertama kali adalah As-Sunnah dan ini sudah merupakan kesepakatan para Ulama’.
Dalam hal ini, Al-Qur’an berarti mempunyai kedudukan tertinggi dalam hujjah, dan mutlak bersifat pasti. Dengan demikian, Al-Qur’an dalam kerangka urutan dalil-dalil atau hukum atau sumber ajaran islam adalah menempati kedudukan yang paling tinggi. Dalam kaitan ini, maka Al-Qur’an mempunyai fungsi dasar pokok, yaitu sebagai alat kontrol atau alat ukur menganahi apakah dalil-dalil hukum yang lebih rendah sesuia atau tidak dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an ?. Apabila ternyata ditemukan adanya ketidak sesuaian atau bahwa bertentanga, maka kekuatan hukum ini tidak sah dan tidak diberlakukan.[6][7]
6.      Fungsi Al-Qur’an
Dari sudut isi atau subsitansinya, funsi Al-Qur’an sebagai tersurat dalam nama-namanya adalah sebagai berikut :[7][8]
a.       Al-Huda (petunjuk)
b.      Al-Furqon (pemisah)
c.       Al-Syifa’ (obat)
d.      Al-Mu’izhah (nasihat)
7.      Al-Qur’an Sebagai Sistem Nilai
Wacana-wacana tekstual yang dipergunakan Al-Qur’an dalam memperkenalkan ajaran-ajaran islam memungkinkan dipahami oleh seseorang secara berbeda dengan lainya, terutama dalam kaitannya dengan peran kesejarahan Kekholifahan manusia dimuka bumi sehingga penafsiran yang beragam merupakan suatu yang tidak bisa dihindari. Keberagaman penafsiran ini merupakan perwujudan dari watak dasar yang dibawa oleh Al-Qur’an, terbuka terhadap keragaman penafsiran (interpretable) atau qobil An-Niqash dalam pemaknanya.[8][9]
Watak dasar Al-Qur’an yang menimbulkan keberagaman penafsiran di atas digambarkan oleh Abdullah Darraz dengan, “Bagaikan Intan yang setiap sudutny memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.[9][10]















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"musthofa"